PAEIJABAR.ORG – Ancaman kesehatan global saat ini selain krisis kemanusian, lingkungan berbahaya, kegagalan sistem kesehatan juga terdapat penyakit infeksi, dimana ancaman penyakit infeksi ini mempunyai banyak risiko bila dilihat dari penyebaran mikroorganisme, penyebab penyakit, resistensi obat hingga bioterorisme. Kondisi tersebut memberikan implikasi terhadap kebutuhan penyediaan pelayanan kesehatan yang cukup besar. Ketidakseimbangan antara jumlah sarana pelayanan kesehatan yang tersedia dengan jumlah penduduk, menyebabkan belum semua penduduk memperoleh akses yang memadai ke sarana pelayanan kesehatan. Oleh karena itu upaya untuk mengurangi beban pemerintah khususnya beban penyakit menular maupun penyakit tidak menular perlu terus dilakukan.
International Health Regulation (IHR) 2005 merupakan Peraturan Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara anggota WHO dalam sidang WHA (World Health Assembly) ke 58 yang bertujuan mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dengan melakukan tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional. IHR merupakan salah satu bentuk komitmen di tingkat internasional dalam upaya melindungi penyebaran penyakit secara internasional. Sejak tahun 2014, Indonesia berkomitmen untuk implementasi penuh dalam penerapan IHR 2005 tersebut.
Tujuan IHR 2005 ini adalah untuk mencegah, melindungi dan menanggulangi penyebaran penyakit, termasuk penyakit menular yang sudah ada, baru dan yang muncul kembali, serta penyakit tidak menular yang bisa menyebabkan Public Helath Emergency of International Concern (PHEIC)/Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia. PHEIC merupakan KLB yang dapat merupakan ancaman kesehatan bagi negara lain dan kemungkinan membutuhkan koordinasi internasional dalam penanggulangannya.
Dalam IHR 2005 terdapat 8 kapasitas inti yang dipersyaratkan, diantaranya kebijakan dan peraturan, koordinasi dan komunikasi fokal point nasional, surveilans, respon, kesiapsiagaan, komunikasi risiko, sumber daya manusia dan laboratorium. Diantara 8 kapasitas ini tersebut, surveilans dan respon menjadi kapasitas kunci yang harus dipenuhi. Kegiatan surveilans dan respon merupakan salah satu bentuk kegiatan yang terintergrasi pada seluruh tenaga epidemiolog kesehatan.
Hampir satu dasawarsa IHR mulai dilaksanakan oleh seluruh negara anggota WHO. Namun, sedikit sekali negara yang mengimplementasikannya dengan baik. Di Asean hanya dua negara yang menyelenggarakan IHR, yaitu Indonesia dan Thailand. Akibatnya, beberapa penyakit menular dengan cepat menyebar hampir di seluruh dunia, misalnya SARS (2002), Influenza A (2009), Ebola (2014), Mers-COV (2015), dan Zika (2016). Perkembangan ini mendorong beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia, Amerika Serikat dan Finlandia melakukan kolaborasi melalui Global Health Security Agenda (GHSA) sejak 2014 untuk memperkuat IHR. GHSA dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas negara negara di dunia dalam mencegah dan mengendalikan penyakit menular berpotensi wabah. GHSA terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pencegahan pandemi, deteksi dini ancaman kesehatan dan keamanan serta respons secara cepat dan efektif terhadap wabah penyakit.
Pentingnya peranan health workforce, termasuk ahli epidemiologi, sebagai garda terdepan dalam upaya pencegahan, deteksi dan respon terhadap ancaman kesehatan global. Hal ini merupakan tantangan bagi organisasi PAEI untuk meningkatkan profesionalitas dalam bidang Epidemiologi untuk mendukung GHSA dan IHR tersebut. Berdasarkan hal tersebut, PAEI Provinsi Jawa Barat bermaksud mengadakan Seminar Epidemiologi dengan Tema: “Peluang dan Tantangan Epidemiolog dalam Ketahanan Kesehatan Global”. (PAEIJABAR.org)